Dalam era modernisasi yang berkembang pesat, terutama dalam aspek ekonomi, perubahan signifikan terjadi dalam pola konsumsi manusia. Perdagangan barang dan jasa kini semakin melibatkan platform digital atau daring. Indonesia, sebagai negara berkembang, juga mengalami transformasi ini, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti tingkat pendidikan, media sosial, dan berbagai keuntungan yang ditawarkan oleh perdagangan elektronik (e-commerce).
Menurut Nyoman Pujawan (2018), Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat ekonomi digital yang sangat tinggi. Data dari Nomura Research pada tahun 2016 menunjukkan bahwa transaksi e-commerce di Indonesia mencapai 1,2 persen dari nilai transaksi ritel, senilai 65 triliun rupiah. Tingkat pendidikan masyarakat Indonesia memainkan peran penting dalam tingginya transaksi e-commerce ini. Selain itu, eksposur melalui media massa dan media sosial terkait kemudahan berbelanja secara daring dan manfaat lainnya turut memengaruhi peningkatan transaksi e-commerce.
Tidak hanya tingkat transaksi e-commerce yang meningkat, tetapi juga banyak pelaku bisnis konvensional yang beralih ke bisnis digital seperti Kaskus, OLX Indonesia, Jualo, Lamudi, Lazada, Matahari Mall, Bhineka, Bukalapak, dan banyak lainnya. Yang menarik, dalam berbagai situs online tersebut, konsumennya didominasi oleh perempuan. Sebagai contoh, data dari Tokopedia pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa produk kecantikan, produk kesehatan, pakaian, fashion, aksesoris, dan gadget adalah produk yang paling banyak dibeli oleh konsumen, sebagian besar di antaranya adalah perempuan.
Tingginya konsumsi perempuan di Indonesia dalam konteks ekonomi digital mencerminkan perilaku konsumerisme. Teori konsumerisme yang dijelaskan oleh Jean Baudrillard dalam ungkapan "I shop therefore I am" (Aku belanja maka aku ada) menggambarkan cara perempuan, dan masyarakat secara umum, berhubungan dengan barang-barang konsumen. Perilaku konsumerisme seringkali didorong oleh keinginan untuk diakui oleh masyarakat, dan ini mencerminkan pada apa yang mereka beli.
Perempuan sering kali lebih mempertimbangkan pandangan sosial daripada fungsi saat membeli produk. Label merek atau merek yang terkenal seringkali lebih berharga daripada kualitas barang itu sendiri. Hasrat konsumsi ini menyebabkan perempuan cenderung membeli banyak varian barang dengan fungsi yang serupa, semata-mata untuk memenuhi hasrat konsumsi mereka.
Namun, tingginya transaksi e-commerce oleh kaum perempuan di Indonesia juga dapat memiliki dampak negatif. Pemasaran yang mengkomodifikasi perempuan dalam iklan dan media memengaruhi cara masyarakat dan perempuan melihat diri mereka. Pencitraan perempuan "sempurna" oleh iklan memaksa mereka untuk mengonsumsi produk tertentu agar diakui sebagai bagian dari kesempurnaan itu. Tuntutan untuk selalu tampil indah dan sempurna menjadi sangat tinggi.
Perilaku konsumeristis perempuan melalui e-commerce juga memiliki dampak ekonomi yang kompleks. Meskipun menguntungkan bagi produsen dan pelaku bisnis digital, ini juga dapat merugikan pelaku ekonomi konvensional seperti pemilik toko fisik, pedagang pasar tradisional, dan lain-lain. Hanya mereka yang melek teknologi yang mampu bertahan dalam persaingan ekonomi.
Dalam konteks ini, penting untuk mencari keseimbangan. Penggunaan transaksi e-commerce dapat disertai dengan transaksi konvensional, sehingga berbagai jenis pelaku ekonomi dapat bertahan. Keberhasilan perempuan dalam ekonomi digital dapat pula membantu pelaku bisnis konvensional untuk mengikuti jejak ini. Singkronisasi antara perdagangan daring dan konvensional menjadi kunci kesuksesan. Dengan cara ini, perempuan tidak hanya akan mendominasi perdagangan digital tetapi juga akan membantu mengembangkan bisnis konvensional.
0 Comments